Parepare, Bugissulsel.com – Kasus penipuan daring yang melibatkan narapidana (napi) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Parepare kembali menyeruak ke permukaan publik, pada Senin (27/5) lalu.
Kali ini, napi berinisial FA (34) dari lapas kelas IIA Kota Parepare, diduga menjalankan modus penjualan solar fiktif yang merugikan korban hingga puluhan juta rupiah.
Dugaan keterlibatan oknum petugas lapas dalam skema kejahatan ini menambah kecemasan publik terhadap lemahnya pengawasan di balik tembok lembaga pemasyarakatan.
Aksi FA ini disebut berlangsung secara sistematis. Ia memanfaatkan akses terhadap fasilitas komunikasi seperti telepon seluler dan jaringan internet yang sejatinya dilarang keras di dalam lapas.
Kejadian bermula setelah RY (50) melakukan transaksi pembelian solar secara online kepada FA (34).
Dengan dalih sebagai pihak yang memiliki akses terhadap distribusi bahan bakar industri, FA menjerat korban melalui komunikasi daring, menawarkan harga miring, dan menjanjikan pengiriman solar sebanyak 5.000 liter.
Namun, janji itu tak pernah terealisasi. Setelah dana ditransfer Rp 67,4 juta, nomor FA langsung tidak bisa dihubungi.
Merasa tertipu RY kemudian melapor ke pihak kepolisian. Dari hasil penelusuran, pelaku diketahui beroperasi dari dalam Lapas Parepare.
Fakta ini memunculkan pertanyaan serius: bagaimana mungkin napi bisa mengakses alat komunikasi dengan bebas dan melakukan transaksi dalam jaringan tanpa terdeteksi?
Munculnya sejumlah pemberitaan dengan tajuk tajam seperti "Penipuan Online dari Dalam Lapas: Kalapas Tutup Mulut, Publik Desak Pecat Oknum Lapas Parepare!" hingga "Penjara Longgar, Kejahatan Subur: Kalapas Parepare Diduga Tahu Tapi Diam”.
Hal tersebut mencerminkan kegelisahan masyarakat yang semakin dalam. Publik menduga ada pembiaran sistematis, bahkan potensi keterlibatan petugas di balik keberlangsungan aksi penipuan tersebut.
Skandal ini semakin mencuat ketika salah satu pelaku berhasil ditangkap oleh Tim Satreskrim Polres Sidrap.
Penangkapan itu memperkuat dugaan bahwa jaringan penipuan yang dijalankan napi bukan aksi sporadis, melainkan terstruktur dan telah berlangsung cukup lama.
Meski demikian, hingga kini pihak Lapas Parepare masih memilih bungkam. Tidak ada pernyataan resmi yang diberikan, bahkan ketika desakan publik terus menguat.
Keheningan pihak lapas inilah yang menambah kecurigaan. Banyak pihak menilai bahwa sikap diam justru memperlihatkan adanya sesuatu yang ditutupi.
Sorotan tajam pun tertuju pada Kepala Lapas Parepare yang dituding mengetahui aktivitas ilegal ini namun tidak mengambil tindakan.
Beberapa laporan bahkan menyebutkan bahwa sejumlah petugas diduga turut memfasilitasi keberlangsungan akses napi terhadap alat komunikasi.
Kasus ini membuka kembali diskursus tentang lemahnya sistem pengawasan di lembaga pemasyarakatan.
Bagaimana mungkin fasilitas yang seharusnya tertutup justru menjadi ladang subur bagi kejahatan berbasis teknologi? Apakah pengawasan internal selama ini hanya formalitas?
Desakan publik kini semakin menguat. Mereka meminta aparat penegak hukum melakukan investigasi menyeluruh, tidak hanya kepada para napi pelaku penipuan, tetapi juga kepada seluruh jajaran petugas yang memiliki akses dan kewenangan dalam sistem pengamanan di dalam lapas.
Jika terbukti adanya keterlibatan, publik berharap semua pihak yang terlibat diberi sanksi tegas sesuai hukum yang berlaku.
Kasus penipuan solar fiktif dari balik jeruji besi ini menjadi cermin buram wajah penegakan hukum dan pembinaan napi di Indonesia.
Lebih dari sekadar kejahatan daring, ini adalah indikasi kegagalan sistemik dalam menjaga integritas dan keamanan lembaga pemasyarakatan.
Sudah saatnya dilakukan reformasi menyeluruh untuk mencegah agar penjara tidak lagi menjadi tempat persemaian kejahatan baru.
Laporan: Tim
Editor: A.Cakra